- Yang Ke-1 : Rudy Habibie (BJ Habibie) yang genius, pintar bikin pesawat dan bisa menjadi presiden.
- Yang Ke-2 : Rudy Hartono yang pernah beberapa menjadi juara bulu tangkis kelas dunia.
- Yang Ke-3 : Rudy Salam yang suka main sinetron di TV.
- Yang Ke-4 : Rudy Hadisuwarno yang ahli di bidang Kecantikan dan punya banyak salon kecantikan di beberapa kota .
- Yang Ke-5 : Rudy Choirudin yang jago masak dan sering tampil memandu acara memasak di TV.
Hampir semua anak menjawab "Rudy Habibie"
Sewaktu ditanyakan "Mengapa, kalian bilang bahwa yang paling sukses Rudy Habibie?"
Anak-anakpun menjawab "Karena bisa membuat pesawat terbang, bisa menjadi presiden, dsb".
Sewaktu Kak Seto menanyakan "Rudy yang mana yang paling tidak sukses?"
Hampir seluruh anak menjawab "Rudy Choirudin"
Ketika ditanyakan "Mengapa kalian mengatakan bahwa Rudy Choirudin bukan orang yang sukses?"
Anak-anak pun menjawab "Karena Rudy Choirudin hanya bisa memasak"
Memang begitulah pola pikir dan pola asuh dalam keluarga dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih menilai kesuksesan orang dari karya-karya besar yang dihasilkannya. Masyarakat kita banyak yang belum bisa melihat kesuksesan adalah pengembangan talenta secara optimal sehingga bisa dimanfaatkan dalam kehidupan yang dijalaninya dengan "enjoy".
Banyak masyarakat kita yang beranggapan bahwa IQ adalah segala-galanya. Padahal kenyataannya EQ, SQ dan faktor-faktor lain juga sangat menentukan.
Dalam seminar tersebut Kak Seto hanya ingin merubah paradigma berpikir anak-anak (dan juga orang tua/keluarga). Anak-anak dan orang tua harus menyadari dan mensyukuri setiap talenta yang diberikan oleh Tuhan. Bila talenta tersebut dikembangkan dengan baik, maka kita bisa mencapai kesuksesan di "bidangnya".
Jadi untuk anak-anak yang tidak pintar matematika, anak-anak tidak perlu minder dan orang tua tidak perlu malu atau menekan anak. Anak-anak yang lebih menyukai pelajaran menggambar dari pada pelajaran-pelajaran lain, bukanlah anak-anak yang bodoh karena justru anak-anak yang punya imajinasi tinggilah yang pintar menggambar/melukis. Anak-anak yang suka ngobrol, kalau kita arahkan bisa saja kelak menjadi politisi atau negotiator yang baik. Anak-anak yang banyak bicara, kalau diarahkan untuk menuliskan apa yang ingin dibicarakan bisa-bisa menjadi penulis yang hebat. Contoh kecil ini juga mengingatkan kita untuk lebih memfokuskan pada kekuatan kita dari pada "wasting time" bersungut-sungut, hanya memikirkan kelemahan kita.
Saya pernah membaca pengalaman hidup seorang penyanyi di Amerika. Penyanyi tersebut dulunya tidak PD karena wajahnya tidak terlalu cantik dan giginya tonggos. Saat menyanyi di pub, dia repot mengatur bibirnya supaya giginya yang tonggos tidak dilihat orang. Hasilnya: ia hanya bisa menghasilkan suara yang pas-pasan. Ketika temannya meyakinkan bahwa giginya yang tonggos itu bukanlah masalah, maka iapun bisa menyanyi dengan bebas dan meng-eksplore suara emasnya. Ternyata orang-orang mengingat penyanyi itu karena kualitas suaranya, bukan parasnya yang jelek dengan gigi tonggosnya. Kitapun meyakini bahwa Tuhan menciptakan setiap kita (manusia) dengan maksud yang terbaik demi kemuliaan-Nya. Kalau saja kita meyakini hal tersebut, maka semua orang akan mensyukuri keadaan dan memanfaatkan talenta yang Tuhan berikan untuk kemuliaan-Nya.
Sewaktu ditanyakan "Mengapa, kalian bilang bahwa yang paling sukses Rudy Habibie?"
Anak-anakpun menjawab "Karena bisa membuat pesawat terbang, bisa menjadi presiden, dsb".
Sewaktu Kak Seto menanyakan "Rudy yang mana yang paling tidak sukses?"
Hampir seluruh anak menjawab "Rudy Choirudin"
Ketika ditanyakan "Mengapa kalian mengatakan bahwa Rudy Choirudin bukan orang yang sukses?"
Anak-anak pun menjawab "Karena Rudy Choirudin hanya bisa memasak"
Memang begitulah pola pikir dan pola asuh dalam keluarga dan masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih menilai kesuksesan orang dari karya-karya besar yang dihasilkannya. Masyarakat kita banyak yang belum bisa melihat kesuksesan adalah pengembangan talenta secara optimal sehingga bisa dimanfaatkan dalam kehidupan yang dijalaninya dengan "enjoy".
Banyak masyarakat kita yang beranggapan bahwa IQ adalah segala-galanya. Padahal kenyataannya EQ, SQ dan faktor-faktor lain juga sangat menentukan.
Dalam seminar tersebut Kak Seto hanya ingin merubah paradigma berpikir anak-anak (dan juga orang tua/keluarga). Anak-anak dan orang tua harus menyadari dan mensyukuri setiap talenta yang diberikan oleh Tuhan. Bila talenta tersebut dikembangkan dengan baik, maka kita bisa mencapai kesuksesan di "bidangnya".
Jadi untuk anak-anak yang tidak pintar matematika, anak-anak tidak perlu minder dan orang tua tidak perlu malu atau menekan anak. Anak-anak yang lebih menyukai pelajaran menggambar dari pada pelajaran-pelajaran lain, bukanlah anak-anak yang bodoh karena justru anak-anak yang punya imajinasi tinggilah yang pintar menggambar/melukis. Anak-anak yang suka ngobrol, kalau kita arahkan bisa saja kelak menjadi politisi atau negotiator yang baik. Anak-anak yang banyak bicara, kalau diarahkan untuk menuliskan apa yang ingin dibicarakan bisa-bisa menjadi penulis yang hebat. Contoh kecil ini juga mengingatkan kita untuk lebih memfokuskan pada kekuatan kita dari pada "wasting time" bersungut-sungut, hanya memikirkan kelemahan kita.
Saya pernah membaca pengalaman hidup seorang penyanyi di Amerika. Penyanyi tersebut dulunya tidak PD karena wajahnya tidak terlalu cantik dan giginya tonggos. Saat menyanyi di pub, dia repot mengatur bibirnya supaya giginya yang tonggos tidak dilihat orang. Hasilnya: ia hanya bisa menghasilkan suara yang pas-pasan. Ketika temannya meyakinkan bahwa giginya yang tonggos itu bukanlah masalah, maka iapun bisa menyanyi dengan bebas dan meng-eksplore suara emasnya. Ternyata orang-orang mengingat penyanyi itu karena kualitas suaranya, bukan parasnya yang jelek dengan gigi tonggosnya. Kitapun meyakini bahwa Tuhan menciptakan setiap kita (manusia) dengan maksud yang terbaik demi kemuliaan-Nya. Kalau saja kita meyakini hal tersebut, maka semua orang akan mensyukuri keadaan dan memanfaatkan talenta yang Tuhan berikan untuk kemuliaan-Nya.