21
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA
(21)
*Jumat Agung
Oleh Agust Wahyu
“Le... kowe ra popo?” tanya ibu ketika aku kembali ke rumah lebih awal dari biasanya. Walau aku tak memegang cermin, aku yakin mukaku kusut dan kurang tidur. Semalam pikiranku memang bercabang antara Kanya dan Joana. Mentari belum menampakkan senyumnya. Daun-daun bunga melati di depan rumah masih basah, mungkin karena hujan semalam. Apa ibu lupa kalo hari ini Jumat Agung dan aku akan Jalan Salib jam 8 pagi. Tentunya hari ini aku tak akan bisa ke gereja besama Kanya seperti tahun lalu. Dia lebih dulu memikul salibnya, dan apakah pengorbanannya akan membebaskanku? Tapi dari apa? Apakah membebaskanku dari Kanya atau Joana?
“Bapak-ibu mau bicara
hal sangat penting!” kata ibu mencegatku di pintu kamar dan minta aku duduk.
Jantungku tiba-tiba berpacu kencang. Apalagi yang ingin ibu katakan. “Apa kamu
belum tahu kalo Kanya pernah hamil? Tapi ini rahasia lho dari budemu.” Kepalaku
langsung berputar-putar. Perut yang lapar semakin mual. Kakiku lemas. Berita
apa lagi ini? Bude Marni yang dulu pernah jadi perawat atau asistennya Dokter
Budiman yang pernah merawat Kanya. Ibu mendapat informasi dari bude bila Kanya
pernah hamil tetapi calon suaminya tak mau bertanggung jawab. Sehingga dia berusaha
menggugurkan kandungannya dengan obat-obatan tradisional. Dan tak berhasil.
Lalu dalam keadaan pendarahan hebat, diantar ke Dokter Budiman. Saat itu
dokternya belum tiba di tempat praktik, dan yang memberi pertolongan pertama
adalah Bude Mirna.
“Itu sebabnya ayah dan
ibumu tak mengizinkan. Bagaimanapun Joan lebih baik!” ucapan ibu bagai
memvonis. Ayah seperti biasa tak bereaksi banyak tetapi kulihat sepintas
wajahnya cenderung mendukung keputusan ibu. Aku tak memberi komentar. Menarik
napas panjang beberapa kali dan berusaha tetap tenang. Sejujurnya aku memang
tak pernah bertanya lebih jauh tentang kondisi rahim Kanya karena itu sangat
sensitif dan dapat melukai perasaan orang yang sangat kucintai. Tetapi apa
benar seperti itu? Aku juga tak mungkin akan konfirmasi dengannya dalam kondisi
seperti ini. Aku segera pamit pada ayah dan ibu untuk mandi lalu bersiap-siap
mengikuti jalan salib di gereja Servatius. Mungkin saatnya aku harus memanggul
salib juga, yang kuyakin belum seberat salib yang dipanggul Kanya apalagi Salib
Yesus.
Kampung Sawah, 30 Maret 2018
#pentigraf_aw
---
22
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA
(22)
*Awal Jumpa dengan
Kanya
Oleh Agnes Kinasih
"Salib itu kujunjung penuh hingga tiba saat ajalku. Salib itu kurangkul teguh. Klak kan kutrima mahkotaku." Lagu "Di Bukit Golgota" kembali terngiang di telingaku. Pikiranku melayang ke sore itu, ketika hatiku letih. Aku memacu mobilku ke sebuah rumah retreat di Puncak. Aku benar-benar terpuruk karena sikap Joana yang tega menyakiti dan meninggalkanku. Aku ingin menenangkan diriku. Kapel di rumah retreat tempatku biasa berdiam diri, hari itu lain. Terdengar denting piano dan suara merdu seseorang menyanyikan lagu itu. Awalnya kupikir Suster Stefani, tapi suaranya sangat beda. Lembut, merdu, dan penuh penghayatan serta kepasrahan. Kuteruskan langkahku ke dalam kapel. Seorang gadis berwajah sendu dengan rambut panjang tampak sedang memainkan piano.
Pelan-pelan aku melangkah masuk, karena tidak ingin mengganggunya. Hanyut dalam. Lagu yang ia bawakan, hatiku tiba-tiba merasa sesak,air mataku mengalir. "Ya Tuhan... ternyata aku lemah," keluhku dalam hati. Kutundukkan kepala dalam doa. Seiring berhentinya lagu itu, kusudahi doaku. Gadis itu berlutut di depan altar. Nampak ia juga menangis. Tak mau membuatnya terganggu aku keluar perlahan dan menuju ke kantor Suster Stefani untuk menyampaikan bahwa malam itu aku ingin menginap semalam di rumah retreat yang dikelolanya. Setelah diberi kunci kamar, aku segera beristirahat.
Malam hari, setelah makan malam aku keluar ke taman bunga anggrek di halaman belakang. Aku kaget ketika kulihat gadis yang tadi kulihat di kapel ada di situ. Ia pun sepertinya kaget dengan kehadiranku. Dia mengangguk dan tersenyum. Sebelum terlanjur menjauh aku menyapa dan bertanya padanya, "Maaf, mbak tadi yang bermain piano di kapel?" Dia berhenti dan membalikkan badan, sambil tersenyum ia mengangguk. "Suaranya bagus. Kenalkan saya Don," kataku memujinya dan mendapatkan jawaban namanya, Kanya, dari bibirnya yang mungil dan merah. Ternyata ia juga sedang menjadi tamu di situ. Kami pun terlibat dalam obrolan yang asyik. Tak kusia-siakan untuk bertukar kontak dengan orang yang cantik, lembut, dan ramah itu. Dan utamanya ia mampu membuatku lupa akan Joana. "Kanya kekasihku... cepatlah pulih," bisikku dalam hati. Aku rindu tawamu, kata-katamu yang lembut menguatkanku. Dan aku ingin misa malam paskah bersamamu lagi.
---
23
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA
(23)
*Kejutan di Pagi
Paskah
Oleh Waty Sumiati Halim
Bayangan senyuman Kanya telah membangkitkan semangatku saat kubuka mata pagi ini. Terima kasih, Tuhan! Ini hari Minggu Paskah, perayaan sukacita kebangkitan Kristus. Dan aku akan punya lebih banyak waktu untuk Kanya! Setelah hari-hari yang melelahkan, terburu-buru menyelesaikan tugas, supaya bisa segera mengunjungi Kanyaku yang terbaring lemah dan terkurung dalam "dunia"nya. Oh, kapankah ia sadarkan diri? Namun sejujurnya aku juga khawatir hal ini akan menjadi bumerang untukku? Bagaimana kalau sudah sadar Kanya makin menjauh?
Membiarkan diri di
bawah pancuran air sungguh menyegarkanku pagi ini. Rasanya aku ingin segera
tiba di rumah sakit. Usai sarapan bersama Ibu, kuraih kantung kertas berisi
boneka kelinci Paskah dan sekotak coklat, hadiah untuk Kanya. Ia pencinta
coklat dan sangat menyukai boneka. Aku ingat benar, bagaimana sinar mata Kanya
saat menerima coklat usai misa malam Paskah tahun lalu. Ketika kami baru
jadian, "Don, trimakasih ya. Kok tahu aku suka coklat?" Senyum Kanya
mengembang menyusul jeritan riangnya ketika ia juga menemukan sebuah boneka
beruang kecil dalam kantung hadiahnya.
Kutarik napas dalam dan kubisikkan doa sebelum memasuki ruang perawatan Kanya. Kulihat di meja ada lilin menyala. Seorang berjubah putih sedang berdiri di samping tempat tidur Kanya. Aku berjingkat untuk mendekat agar tak mengganggu. Sebuah kejutan untukku, ternyata lelaki itu adalah Arya, sepupu Kanya yang belum lama ditahbiskan menjadi imam. Kuletakkan kantung hadiahku di meja di samping tempat tidurnya. Seperti biasa, di mataku Kanya tampak sangat cantik walau ia mengenakan pakaian rumah sakit. Tetapi hatiku sangat sedih karena tak banyak perubahan padanya. Jenny, saudara satu-satu yang dimiliki Kanya, mungkin merasakan hal yang sama, dan mengusulkan untuk memberikan Sakramen Perminyakan buat Kanya. Romo Aryo memang sudah siap untuk itu. Setelah itu aku mencium keningnya, dan tiba-tiba sudut bibirnya terangkat. Dan matanya pelan-pelan terbuka dan langsung menatap ke arahku. Ia mengenaliku! Dan bibirnya bergerak menguncup, "Don..." Seketika kurasakan gemuruh di dadaku. Kanya sadar! Terimakasih Tuhan. Ini sebuah mujizat Paskah! Kanya bangkit bersama Yesus. Untuk beberapa saat kata-kataku menghilang begitu saja terbasuh aliran hangat dari sudut mataku... .
Bandung, 30032018
---
"Don..." Oh Tuhanku, aku tak bermimpi. Tadi
Kanya menyebut namaku! Ini momen yang sangat kurindukan. Kanya sadar dan
mengenaliku! Walau masih sangat lemah, ia mencoba membalas genggaman tanganku.
Pandanganku buram. Namun aku tak ingin melepas tangannya. Aku takut Kanya
terhempas ke lembah amnesia yang tak bertepi seperti Joana. Dan harus kuakui
ternyata cintaku padanya lebih dari yang kukira. Kutatap matanya lekat.
Menyiratkan sorot penuh kasih. Namun tak lama kemudian kemudian kelopak mata
Kanya menutup kembali. "Don, biarkan Kanya istirahat...," suara Romo
Aryo membuyarkan lamunanku. Aku jadi ingat dokter Irwan pernah berpesan Kanya
perlu banyak istirahat.
Hidup terasa sangat indah ketika kusadari ternyata hatiku
hanya terpaut pada Kanya. Walaupun ternyata ia mempunyai masalah dengan rahim,
mahkota seorang wanita. Luka hatiku akibat ulah Joana terpulihkan. Namun
rangkaian peristiwa yang melandaku dan Kanya akhir-akhir ini telah
mencabik-cabik hatiku. Dan tentunya menghancurkan hati Kanya yang selama ini
kukenal sangat lembut. Sadarnya Kanya seolah menghadapkanku pada pisau bermata
dua. Apakah ia mau menerimaku kembali? Kalau ia mau mnerimaku kembali, apakah
keluargaku akan menerima Kanya yang konon tak mungkin mempunyai keturunan?
Dalam kegalauan hati kucoba berkonsultasi dengan Romo
Aryo tentang permasalahan melingkupiku. "Wow! Cinta segitiga... ow segi
empat ya..." Romo muda itu mencoba mencandaiku. Namun beberapa detik
kemudian ia memandangku lalu melanjutkan ucapannya dengan wajah serius.
"Ikuti kata hatimu!" Dan aku makin galau. Tentu saja hatiku memilih
Kanya, walau aku pernah mencintai Joana. Namun aku juga tak ingin menjadi anak
durhaka. Bagai seorang yang harus mengunyah dan menelan buah simalakama. Aku
takut mencelakai Ibu. Mengingat Ibu bermasalah dengan jantungnya. Bayangan
Kanya, Joana dan ibu silih berganti menari-nari di benakku. Oh Tuhan, tolonglah
aku! Dadaku terasa sesak. "Don?" Suara Romo Aryo dan tepukannya di
bahuku memaksaku untuk menoleh ke arahnya. Aku tak dapat menebak isi hati Romo
muda itu ketika ia melihat sungai deras mengalir dari kedua sudut mataku.
#Bandung, 01042018
---
Terbayang hari-hari menggembirakan melihat
kemajuan yang dicapai Kanya hari ini. Benarkah demikian? Ada pasien yang
terlihat jauh membaik dari hari sebelumnya ternyata pasien itu berpulang
selamanya. Membayangkan itu membuat Don takut sendiri dan tidak berani
mengutarakan ketakutan tersebut pada siapapun. Don bertelut dalam doa memohon
pengasihanan Tuhan untuk Kanya. Apa yang dikuatirkan tidak terjadi. Selang
oksigen sudah dilepaskan, sedikit demi sedikit Kanya mulai bisa menyedot
minuman. Tubuhnya masih lemah tapi sudah bisa mengenali orang-orang yang
dikenalnya.
Hampir tiba di rumah, Don melihat mobil Bude
Marni. Don tidak jadi pulang dan memilih pergi menenangkan diri di cafe. Rasa
lelah tubuh Don tambah lelah, setelah dua jam di cafe membuatnya ingin segera
pulang. Mandi air hangat dan pergi beristirahat secepatnya. Masih terparkir
mobil Bude Mirna. Don tidak mau menghindar lagi, hanya satu di pikirannya mau
istirahat.
"Don, mengapa jarang menengok Joana?
Tolong tengok dan bisikan kata-kata penyemangat untuk dirinya. Pasti Joana
cepat sembuh terutama bila dari diri kamu yang memberi semangat!" pinta
Bude Mirna sambil memegang tangan Don. Karena sudah lelah dan mau beristirahat,
Don menganggukkan kepala dan permisi masuk ke dalam kamar tidurnya. Karena
super lelah, Don tertidur lelap dan bermimpi Don menikah dengan Joana dan
mereka mempunyai sepasang anak yang menggemaskan. Inikah pertanda bahwa Don
akan menikahi Joana?
---
26
Pakde Marto sedang duduk di teras dengan
gelisah. Sepertinya perasaannya sedang galau. Matanya menerawang memandang
langit malam. Berkali-kali terdengar desah napas panjang dari hidungnya. Bude
Mirna menghampirinya dengan membawa nampan. Aroma teh camomile menyeruak dari
poci yang dituangkan."Pak, minum dulu tehnya selagi masih hangat. Jangan
kau curahkan semua pikiranmu pada persoalan Joana. Jaga kesehatanmu,"
terdengar nasihatnya.
Hela napas Pakde terdengar seperti sedang
memikul beban. Diangkatnya cangkir teh mendekati mulut, kemudian ditiupnya
perlahan-lahan. Tampak asap bulat mengepul di udara dan menghilang tertiup
angin malam. Pakde Marto menyeruput teh yang sudah agak dingin hingga tetes
terakhir. Diletakkannya cangkir yang sudah kosong di atas meja. Wajah Maria,
adiknya kembali hadir seperti mimpinya beberapa hari yang lalu. Dia seakan-akan
diingatkan janjinya dulu sebelaum Maria berpulang. Maria telah mewanti-wanti
agar dirinya menjaga Joana baik-baik. Sejak ayah Joana menghilang tanpa kabar
berita, adiknya itu hidup dalam penderitaan batin. Setiap saat menanti
kepulangan suaminya. Kondisinya makin lama bertambah tak menentu, seringkali
tiba-tiba seperti orang hilang ingatan. Hingga akhirnya Pakde Marto dan Bude
Mirna memboyong Maria dan Joana pulang ke rumah. Joana sudah dianggap seperti
anaknya sendiri. Apalagi perkawinan Pakde Marto dengan Bude Mirna tak dikarunia
keturunan. Janjinya menjaga Joana disanggupinya, tetiba terasa menjadi beban
yang sangat berat.
Bude Mirna membalik-balik halaman majalah di
pangkuannya. Pikirannya tidak fokus. Perkataan suaminya semalam terus
terngiang-ngiang di telinganya,"Bu, rencana kita menjodohkan Joana dengan
Don harus berhasil. Selain keponakan kita itu baik, dia juga pewaris tunggal
keluarga kita. Dengan begitu aku bisa memenuhi janjiku pada almarhum
Maria." Bude Mirna mengkhawatirkan kondisi kesehatan suaminya dan dirinya
sendiri yang punya penyakit jantung. Belakangan ini wajah suaminya tampak
semakin pucat. Tekad Bude Mirna sudah bulat, mencari cara agar Joana bisa
menikah dengan Don.
Bogor, 31 Maret 2018
---
Senyum Kanya menjadi berkah terindah yang
sudah lama kunantikan. Setelah sekian lama tak sadarkan diri, pagi ini Kanya
membuka mata dan bibir mungilnya mengucapkan kalimat yang membuat hatiku
berbunga-bunga. "Terima kasih Don, kamu tidak meninggalkanku."
Tatapan matanya memancarkan cinta yang tulus. Kugenggam tangannya dan
kutempelkan di dadaku supaya Kanya merasakan detak jantungku yang penuh cinta. "Cinta
kita tak akan terpisahkan Sayang."
Jenny diam terpaku menahan keharuan rasa.
Sementara aku masih menggenggam erat tangan lembut Kanya. Walaupun wajahnya
masih pucat, sinar matanya tampak berbinar. Semangat Kanya benar-benar telah
bangkit. Beberapa hari lagi Kanya pasti sudah sehat dan bisa segera pulang.
Setelah sehat aku ingin mengajaknya jalan-jalan dan memberikan kejutan
istimewa. Anganku mengembara jauh melintasi batas logika. Tiba-tiba suara ibu
yang datang bersama Bude Mirna menghentikan anganku. "Puji Tuhan. Sungguh
besar kasih Tuhan." Tanpa ada yang memberi komando kami melambungkan doa
penuh syukur bersama-sama.
Paskah tahun ini sungguh penuh berkah.
Kebangkitan Tuhan telah melembutkan semua hati yang keras membatu. Bude Mirna
yang biasanya egois dan suka memaksakan kehendak, kini berubah ramah. Aku
hampir tak percaya ketika Bude Mirna mengatakan kepadaku bahwa tak akan
memaksakan pertunanganku dengan Joana. "Bude minta maaf Don. Setelah
mengalami berbagai persoalan, akhirnya Bude merenung dan menyadari bahwa
rencana Tuhan yang lebih indah. Kamu berhak menentukan pilihanmu sendiri.
Mungkin Kanya memang jodohmu. Tapi bisa jadi Joana. Bude tak akan memaksamu
lagi tapi pertimbangkanlah lagi apa kau tak ingin keturunan."
---
Yang patut disesalkan di dunia ini adalah masih banyak
orang yang tidak menyadari bahwa ada dua berita besar di dunia ini, yaitu semua
orang telah jatuh ke dalam dosa, dan yang kedua dosa-dosa tersebut dapat
diampuni oleh Tuhan asalkan mau bertobat dan berjanji tidak akan mengulangi
dosa lagi. Mengapa pula kebiasaan-kebiasaan baik jauh lebih mudah ditinggalkan
daripada kebiasaan-kebiasaan buruk?
Demi rasa cintanya kepada Joana, Bude Mirna sengaja
melemparkan bola panas pada persoalan hubungan antara Joana denganku. Ia dengan
cerdiknya mampu menghembuskan isu bahwa Kanya pernah hamil dan menggugurkan
kandungannya. Dengan cara seperti itu, aku akan berpikir seribu kali perihal
hubunganku dengan Kanya, gadis yang sangat kucintai. Ia pun menyusun strategi
baru seolah-olah memberi kemerdekaan kepadaku untuk menentukan pilihan.
Sejak awal perjumpaanku dengan Kanya, aku selalu
mendengarkan suara hati. Aku percaya setiap persoalan pasti ada jalan keluar
dan dihadapi dengan bijak. Aku berusaha mengendalikan perasaan dalam menghadapi
persoalan yang pelik ini. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bersikap jernih. Aku
tidak mau melukai perasaan siapa pun. Pakde Marto, Bude Mirna dan orangtuaku
adalah orangtua yang harus dan wajib dihormati. Juga Joana dan Kanya, dua gadis
yang pernah dan masih mengisi hatiku. Aku harus menentukan langkah terbaik.
Semoga data-data yang kumiliki sudah cukup kugunakan untuk menentukan langkah
selanjutnya. Tiba-tiba ibu menangis setelah dapat telpon dari Bude Mirna. Aku
menanti dengan hati tak enak dan jantung berdebar-debar. kabar apa yang didapat
dari Bude Mirna?
(Wisna Ayem, Ngawi, 4 April 2018)
---
Perkembangan kesehatan Kanya mengaduk-aduk
hati Pakde Marto. Ia semakin khawatir. Hal ini akan semakin menjadi ancaman
nyata bagi Joana untuk berdampingan dengan Don. Ia harus berpacu dengan waktu
untuk segera menjodohkan. Perasaan campur aduk ini menyedot banyak energi.
Beberapa hari kemudian Pakde Marto tumbang jatuh sakit demam tinggi. Staminanya
turun drastis karena mengalami insomnia. Dari dokter memperoleh obat untuk
membantu bisa tidur.
Hari pertama meminum obat bisa membantu Pakde
Marto memicingkan matanya. Tetapi di hari kedua sudah tidak mempan lagi. Matanya
tetap melotot nanar. Seperti kebiasaannya sehari-hari, untuk membunuh waktu
dengan duduk diteras. Samar dalam bayangan terlihat mobil memasuki halaman
rumahnya. Pakde Marto cukup terhenyak melihat para penumpang turun. Terlihat
Don merangkul Kanya dengan mesra sambil salah satu tangannya menggandeng Joana.
Tatapan Joana kosong tanpa ekspresi. Hati Pakde berontak, iapun berteriak
"Tidaaaak!"
Tergopoh-gopoh Bude Mirna datang,
menggoyang-goyangkan badan Pakde. Tapi suaminya tak bangun-bangun. Dan hal yang
bisa dilakukan adalah menangis dan menelpon adiknya, yaitu ibu. Kejadian ini
mau tak mau menjadi pukulan berat bagiku, apalagi Bude Mirna menudingku sebagai
awal mula penyebab semua ini. Saat kupandangi Pakde Marto yang sudah tidur
abadi, seakan-akan dia berbisik padaku, "Apakah kau masih belum puas
menyiksa pakde dan budemu?"
---
30
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (30)
MIMPI INDAH KANYA
Yosep Yuniarto
Pagi itu sengaja aku
tak pulang ke rumah. Aku butuh waktu yang tepat untuk mengabarkan kepergian
Pakde Marto kepada Kanya. Senyum manisnya langsung terkembang dan kulihat
wajahnya sudah mulai cerah. “Saya mandi dulu ya,” Jenny permisi meninggalkan
kami. Kemudian Kanya bercerita kalau semalam dia bermimpi ada yang mengetuk
pintu rumahnya. Ketika dia membuka pintu nampaklah seorang pria berbadan tegap
yang nampak gagah dengan topi hitam dan topeng ala Zorro, berdiri di
hadapannya. Pria itu membawa seikat bunga cantik di tangannya. Pria itu
kemudian sembari setengah berlutut memberikan bunga itu kepada Kanya dengan
perlahan penuh kelembutan. Bulan purnama menjadi saksi ketika pria itu berkata,
"Kulihat rembulan di wajahmu. Bersinar lembut, menerangi hatiku. Menghangatkan
seluruh jiwaku yang dingin membeku karena persimpangan waktu. Maukah engkau
menjadi permaisuriku?" Kanya betul-betul merasa menjadi wanita paling
bahagia dan beruntung di seluruh dunia. Sayang semua itu hanya mimpi.
Kanya kemudian
menatapku dengan pandangan yang serasa amat tajam menguliti isi hatiku.
"Aku tak butuh pangeran berkuda menjemputku. Cukup ada satu satu lelaki
yang bertanggung jawab atas hidupku dan menerimaku apa adanya,” kata Kanya
kemudian membuat hatiku perih. Apakah aku dianggapnya kurang bertanggung jawab
selama ini? Dia kemudian mengatakan bahwa yang diinginkan adalah lelaki yang
dapat menunjukkan kelelakiannya dengan cara bijak, tulus dan penuh cinta. Untuk
lelaki yang demikian, itulah yang dianggapnya lelaki yang sempurna, dia akan
lupa pada penampilan dan kekurangannya. Kata-kata Kanya itu bagai badai salju
yang langsung membekukanku tanpa ampun! Aku jadi merasa amat bersalah karena
selama ini kurang gigih memperjuangkan cintaku kepadanya. Namun dengan berbagai
masalah yang terus menerpa, yang tidak merestui hubunganku dengannya, malah
membuatku kuat dan tahu siapa yang harus kupilih.
Aku mengecup lembut
kening Kanya. Dalam hati aku berjanji ingin menjadi sosok sang pangeran dalam mimpi indahnya.
Sosok yang 'gentle' namun lembut dan romantis. “Don, kamu nggak ke kantor,”
Jenny telah berdiri di belakangku mengingatkanku. Dan kesempatan ini kugunakan
sekaligus untuk mengabarkan kepergian Pakde Marto. Aku akan kembali ke rumah
sakit setelah itu. “Salam buat Joana ya,” kata Kanya tanpa ekspresi tapi justru
aku mendengarnya bagi pukulan telak di ulu hatiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar