Minggu, 13 Mei 2018

SEMBURAT MERAH JINGGA (1-10)


#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (1)
*Semburat Merah Jingga
Oleh Agust Wahyu

Mobil sudah berhenti di depan rumahnya, tapi Kanya masih terlelap bersandar di jok sebelahku. Aku memperhatikan wajahnya setiap sudut dengan seksama. Meskipun sebelumnya aku merasakan begitu sakitnya kehilangan, betapa banyaknya kekecewaan, dan betapa sulitnya bangkit dai kesedihan karena ditinggalkan Joan. Tapi luka-luka itu semua sirna dan tak ada artinya setelah Tuhan mengirimkan seorang Kanya sebagai gantinya. Kini aku paham betul mengapa Tuhan mengambil Joana dariku. Sederhana saja karena dia bukan yang terbaik untukku. Kuelus dan dan kucium rambutnya yang lembut dan aroma harum menyusup dalam hidungku dengan perlahan, tak ingin mengganggu lelap tidurnya hingga terbangun sendiri nantinya.

Saat terbangun, sejenak kami berbincang di teras rumah yang tenang. Tapi tiba-tiba ucapan Kanya membuatku tak tenang, “Aku bukan orang yang tepat untukmu. Carilah yang lain yang dapat membahagiakanmu. Justru ini kulakukan karena aku sangat mencintaimu.” Ucapannya pelan tapi sangat menusuk perasaanku, setelah kukatakan ingin lebih serius menjalin hubungan dengannya. Bahkan dia setengah mengusirku, masuk ke dalam rumah, menguncinya dan membiarkan aku di luar. Aku sempat menggedor-gedor pintunya sembari memanggil namanya. Kutahu dia masih menyandarkan tubuhnya di balik pintu karena samar-samar kudengar isak tangisnya. Aku menantinya di lantai kayu teras rumahnya dengan sabar hingga perasaannya kembali normal.

Sesudah berapa jam duduk membisu dan berapa kali ku menatap pintu yang tetap membisu di belakangku. Aku tahu dia masih berada di situ dan lama aku berpikir bagaimana caranya agar dia keluar dan mau bicara denganku hingga lelah dan tertidur. Malam telah larut ketika aku terbangun. Arloji di tanganku menunjukkan pukul satu dinihari. Jantungku tiba-tiba berdegup keras karena kulihat Kanya duduk di sampingku. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Walau masih dikuasai kantuk, aku mengambil tisu dan mengusap air matanya yang hampir tertumpah di pipinya. Kurasakan pipinya begitu dingin. Segera kutarik tubuhnya dalam pelukanku. Tak ada penolakan. Tubuhku yang juga dingin terasa lamgsung hangat terutama dadaku yang karena aliran air matanya. “Kenapa kamu masih di sini. Aku minta kamu pulang dan pergilah…,” katanya dengan suaranya yang serak karena menahan tangis. Aku menggeleng. “Aku tak mungkin mampu membahagiakan kamu. Aku tak mungkin memberikan keturunan bagimu,” katanya memberi alasan dengan lebih tenang tapi buatku tak tenang. Kuyakin semburat merah jingga mewarnai wajahku dan membuatku berpikir lagi lebih jauh tentang kelanjutan hubungan dengan gadis cantik yang telah menbuatku jatuh cinta.

Santa Ursula, 8 Maret 2018
#pentigrafAgustWahyu


2
* Keputusan yang Tertunda
Oleh Camelia Septiyati Koto

Ku kecup kening nya, "Sayang... masuklah dan istirahat besok kita bicarakan kembali, jangan menangis." Kubimbing Kanya sampai ia menutup kembali pintu itu. Malam itu aku tak bisa memejamkan mata, masih memikirkan perkataan dan pengakuan kekasihku.

Apakah aku bisa menerima jika dia tak bisa memberikan keturunan padaku, karna itu adalah cita-cita dan impianku jika aku menikah. Ku pandang kembali wajah Kanya yang slalu tersimpan rapih di gawaiku. Senyumnya yang slalu membuat hatiku bergetar, celotehnya selalu membuat aku merindukannya. Apakah aku bisa jika aku harus kehilangan dia yang begitu istimewa dalam hidupku?

Pagi saat aku terbangun, ku ambil gawaiku, "Nanti sore aku jemput, kita bicarakan masalah semalam." Aku tak mau masalah ini berlarut-larut dan aku harus punya keputusan. Dan langsung terbalas, "Tak perlu kita ketemu lagi. Aku tahu apa yang bakal kamu putuskan. Good bye! Berkah Dalem." Aku kembali bingung dan tak tahu harus berbuat apa.


3
SEMBURAT MERAH JINGGA (3)
*Kuasa Kasih Mengalahkan Segalanya
Oleh Merry Srifatmadewi

Kutertegun setelah membaca balasan Kanya. Pikiranku agak kusut tapi aku berusaha tenangkan diri dan pergi bekerja ke kantor sebagaiman a biasanya. Pulang kantor rencana untuk pergi ke rumah Kanya kubatalkan, aku tidak mau mengusik kepedihan hatinya saat ini. "Woi, jalan jangan melamun!" Tomo berkata cekikikan sambil menepak bahuku. Aku tersenyum malu. Di luar langit mendung, hujan sudah mulai menitikkan air matanya aku termangu di pinggir kantor dan membayangkan Kanya yang selalu membawa payung kemanapun dia pergi. Kulayangkan pandangan ke sekeliling, seorang gadis yang sangat kukenal berdiri menatapku memegang payung dan berjalan menghampiriku. "Ka...nya!"

Aku tersenyum padanya. Kanyapun membalas senyumku. Aku tidak berani bertanya di depan kantor nanti jadi bahan gunjingan. Aku mengajak Kanya pergi ke suatu cafe tidak jauh dari kantorku. Suara petir menggelegar-gelegar. Hujan semakin deras.
Setelah memesan kue dan minuman. Kubuka pembicaraan, " Untuk apa kau datang ke kantor?" "Untuk menanyakan kesediaan kamu, apakah kamu mau menikah dengan orang yang tidak bisa punya keturunan?"

Mataku menunduk ke bawah dan kudongakkan kembali mukaku. "Aku hanya anak tunggal, selama ini aku kesepian. Aku ingin punya anak banyak. Maafkan aku, Kanya." Tidak ada air mata sedih di mata Kanya. Kami makan dalam diam. Diam dengan pikiran masing-masing. Kanya gadis baik hati, sangat baik, sangat perhatian, sayang dan hormat pada keluarga. Aku telah mengenalnya cukup lama. Kini hanya karena dia tidak bisa memiliki keturunan haruskah aku mundur? Kuraih tangannya "Kita bisa mempunyai anak. Teknologi kedokteran makin maju, maukah kau menerimaku menjadi suamimu?" Mata kami berlinang terharu. Kekuatan darimana aku dapatkan sehingga bisa berkata seperti itu. Kupeluk mesra Kanya.

Jakarta, 9 Maret 2018
#pentigrafSF.


4
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (4)
*Cinta Kami Tak Berakhir
Oleh Camelia Septiyati Koto

Saat itu kami berangkat ke kantor bersama. Kanya kembali tersenyum padaku, dan senyum ini yang selalu membuat getaran dalam hatiku. Dan membuat aku tak bisa melupakannya. "Sayang... selamat bekerja ya. Nanti kamu tunggu aku di sini saja," kataku saat mengantarkannya. Kanya hanya tersenyum padaku dan kekecup kembali keningnya, sesaat sebelum aku meninggalkanya.

Sore harinya, seperti biasa aku menjemputnya. Kupandangi Kanya yang kembali berada di sampingku, seperti malam kemarin tapi kali ini ia tak tertidur. "Jangan memandangku terus Don, nanti kamu tidak fokus." Kuambil bunga tangan yang kusimpan di jok belakang. Dia terkejut. Kembali kulanjutkan pandanganku ke depan. Tiba-tiba... brakkkkkk... dan membuatku tak sadarkan diri.

Dan sisa hujan masih membasahi bahu jalan yang kulalui ini, "Don... kamu sudah sadar? Ibu takut..." Aku hanya terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa, mengingat nasib Kanya. Ibu membelai rambutku sambil menyeka airmatanya yang sebagian jatuh di wajahku. Dingin... dan mukaku benar basah. Tapi itu karena air hujan yang menembus plafon kamar. Ternyata aku kesiangan untung semua hanya mimpi dan cintaku pada Kanya tak harus berakhir.

Jakarta, 11 Maret 2018


5
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (5)
*Perkenalan dengan keluarga
Oleh Siu Hong-Irene Tan

Aku dan Kanya semakin dekat. Layaknya lem dan perangko. Sudah saatnya memperkenalkan Kanya kepada keluarga. Aku juga sudah merasa siap. Sabtu esok kuminta ayah dan ibu meluangkan waktu. Kanya tampak 'surprised' ketika undangan makan malam kusampaikan. Senyum bahagia menghias wajahnya.

Sesuai dengan rencana. Pukul enam aku sudah sampai di rumah Kanya. Menunggu di ruang tamu dengan hati berdebar. Langkah gadisku terdengar mendekat. Gaun biru sederhana tampak serasi membalut tubuhnya yang ramping. Riasan lembut alami, menambah aura cantiknya. Malam ini Kanya terlihat begitu sempurna. Aku tertegun kagum. Kami pamit dan berangkat. Kubelokkan mobil masuk ke halaman rumah. Parkir berjajar dengan mobil Bude Mirna. Sepertinya mama mengundang Bude. Hatiku agak ciut mengingat kecerewetannya.

Keluarga telah menunggu kami. Ayah dan Ibu tampak sangat 'welcome'. Kuperkenalkan satu persatu kepada Kanya. Tiba pada giliran Bude Mirna. "Hai, ini Kanya pasien Dokter Budiman bukan? Masih ingat saya? Mirna asistennya. Bagaimana dengan operasi kandungannya?" celoteh Bude mendominasi sambil mengerling kepada ibu. Seketika kulihat wajah Kanya berubah pucat pasi. Tetapi tetap berusaha tegar dan mengangguk dengan sopan. Dan tiba-tiba tubuhnya lunglai untung aku tepat berada di belakangnya. Setelah keseimbangannya pulih, kugenggam tangannya agar lebih tenang. Kemudian kamipun makan malam dalam suasana kaku dan tegang.

Bogor, 11 Maret 2018


6
#Pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA
*Antara Joana dan Kanya
Oleh Agust Wahyu

Sesampainya ku di rumah malam itu, lampu ruang tamu menyala terang. Siapa yang datang malam-malam begini. Langkahku terhenti saat kulihat Bude Mirna, ibu, dan Joana sedang berbincang-bincang. Bude Mirna adalah kakak kandung ibuku sedangkan Joana adalah kekasih masa laluku sebelum aku bersama Kanya. Dia merupakan keponakan Pakde Marto, suami Bude Mirna. Tadinya aku hendak menghindar tapi tak mugkin karena kepulanganku telah mereka ketahui. Apalagi Bude langsung membukakan pintu dan menyambutku di pintu. “Ngger, kae lo ono wanodio ayu goleki, ” maksudnya ada orang cantik cari aku. Aku langsung mengerti bahwa perempuan hampir 60 tahun itu pasti akan mempermasalahkan hubunganku dengan Kanya.

“Apa yang kau mau harapkan dari Kanya? Kau anak tunggal. Ibumu pasti pingin momong cucu,” Bude Mirna langsung nyerocos padahal aku belum juga duduk. Sebenarnya ingin rasanya kutinggalkan mereka, tapi pastinya aku akan dianggap sebagai orang yang tak tahu sopan santun. Ibu yang tadi diam angkat bicara, "Pikrkan lagi, Le." Walau aku bukan anak kecil lagi, ibu tetap menganggapku "tole". Aku yakin Bude Mirna telah cerita pada ibu dan Joana kalau Kanya tak mungkin dapat memberikan anak padaku dalam keadaan normal. Joana yang tadi duduk di depanku lalu berpindah mendekatiku dan memelukku dari belakang. Aku tak bisa mengelaknya. Apakah dia lupa kalau aku bukan lagi kekasihnya?

“Ibu dan budemu minta kamu pertimbangkan lagi dan jangan buat keputusan yang salah. Kurang apa Joan bagimu,” itu pesan Bude Mirna sebelum meninggalkan rumah. Joana kurang apa? Dibandingkan Kanya tentunya dia lebih sempurna. Ketahuan bobot, bibit, dan bebetnya. Dia anak tunggal sepertiku, beda dengan Kanya yang memiliki kakak dan adik. Keduanya hampir sama cantiknya tetapi aku lebih nyaman dengan Kanya yang lembut dan penuh perhatian dibandingkan dengan Joana yang otoriter dan egois. Bersama dengan Joana hatiku tak pernah tenteram, serasa aku menghadapi majikanku. Apakah aku masih danggap salah pilih? Memang ayah dan ibuku mengharapkan keturunan dariku. Keluarga mana yang tak mengharapkan anak lahir dari rahim istirinya? Dan yang tak dapat kulupakan bayangan wajah ibu yang makin keriput dan matanya yang berkaca-kaca saat mengingatkanku. Apakah aku akan jadi anak yang durhaka?

Santa Ursula, 13 Maret 2018
#pentigrafAgustWahyu


7
#PENTIGRAF_SERIAL
SEMBURAT MERAH JINGGA (7)
Keputusan Antara Ibu dan Bude
Oleh :Camelia Septiyati Koto

Pagi itu aku tak menjemput Kanya seperti biasa dan ini atas permintaannya.
"Kalau kamu ingin memikirkannya kembali, sebaiknya kita tidak usah bertemu dahulu. Kamu harus memikirkan yang terbaik untukmu, juga ibu." Aku hanya terdiam saat Kanya katakan hal itu tadi pagi saat aku menghubunginya. Tanpa kusadari air mata ku jatuh, dan ibu melihatnya sambil membelai kepalaku. Beliau tidak bertanya tapi langsung mengalihkannya pada hal lain, "Jangan lupa sarapan, ibu sudah buatkan nasi goreng kesukaanmu. Juga jangan lupa bekalnya dibawa." Padahal biasanya beliau tak membawakanku bekal karena Tanya selalu membawakannya untukku.

Malam harinya aku sengaja pulang agak larut, karna aku takut Bude Mirna dan Joana kembali datang. Siang tadi, Joana menghubungiku mengajak makan siang bersama tetapi aku menolaknya karena memang pekerjaan di kantor menjelang akhir bulan begitu banyak. Tetapi utamanya aku tak ingin menemuinya. "Kok pulang larut Don, tadi bude dan pakdemu datang." Aku hanya tersenyum dan berniat meninggalkan ibu masuk ke kamar, setelah mencium keningnya. Tapi ibu menahanku, “Sabtu besok antar ibu ke rumah Bude Mirna ya, Don! Sudah lama ibu tak main ke sana." Aku tak bertanya lagi, raga dan jiwaku sudah terlalu lelah, takutnya nanti aku jadi emosi sehigga keluar kata-kata yang tak sepantasnya bagi seorang ibu.

Semalaman aku tak mampu memejamkan mata. Mungkin menjelang pagi aku baru terlelap dan terbangun saat ibu mengetuk pintu dan membangunkanku. Aku bergegas bersiap-siap berangkat. Sarapan sudah ibu siapkan di atas meja. “Kamu tak antar Kanya?” tanya ibu mengejutkan. “Jemput dan antarkan dulu, kasihan hujan-hujan begini.” Aku tak mampu menangkap apa-apa dari perkataan ibu yang datar. Lalu hari Sabtu, ibu mau ketemu bude mau apa? Pasti Joana akan ada di sana dan ibu akan minta bantuan pakde dan bude agar aku memutuskan hubungan dengan Kanya. Masih dua hari, besok baru Jumat. Ingin rasanya tak usah ada Jumat biar taka da Sabtu. Tetapi sebagai seorang lelaki tak pantas bagiku bila selalu bimbang dan mengelak dari masalah, termasuk bimbang harus mengantar Kanya atau tidak. Aku berketatapan hati menjemput dan mengantarnya ke kantor. Untung dia masih di depan rumah dengan payung hijaunya.

#pentigrafcsk
Bekasi, 15 Maret 2018


8
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (8)
*Bimbang
Oleh Merry Srifatmadewi

"Mas, sudah kamu pikirkan masak-masak hubungan kita?" tanya Kanya di dalam mobil. Aku hanya terdiam, raut mukaku pasti berubah karena aku merasakan aliran darahnya. Aku hanya menatapnya dan ada air mata yang mengambang di mataku. Kanya tidak berani melanjutkan pertanyaan lagi. Setibanya di kantor Kanya, "Nanti sore aku tidak jemput ya. Aku harus lembur," kataku karena aku juga belum siap untuk berbicara banyak dengannya. Kanya mengangguk dan tersenyum memahami kesibukanku. Kulanjutkan perjalanan menuju kantorku. Banyak pikiran yang menggelayuti pikiranku.

Sabtu yang ingin kuloncati waktunya akhirnya tiba. Aku mengantar ibu ke rumah bude. Gelisah sekali hatiku memikirkan apa yang akan terjadi nanti di rumah bude. Kutarik napas panjang dan kuhembuskan lagi berkali-kali. Huffhhhtt. Ibu hanya memperhatikanku tanpa menegur kelakuanku, mungkin dia ingin agar aku tetap bisa konsentrasi mengemudikan mobil. Dari depan rumah, Bude dan Joana sudah berdiri menyambut kedatangan kami. Pasti ibu yang memberitahu dengan detail posisi kami sudah sampai di mana dan bahwa sebentar lagi kami tiba. Mereka menyambut kami dengan senyum merekah terlebih Joana terhadapku. Joana dengan sigap menggandeng tanganku masuk ke dalam rumah bude. Ingin kutepis tangannya, takutnya malah bikin gaduh. Joana mengambilkan kue dan minuman untukku dan menyuapkan ke mulutku.

Ibu dan bude yang duduk di seberang bangkuku terlibat pembicaraan seru. "Coba lihat betapa serasinya hubungan mereka. Persaudaraan kita bisa tambah lekat bila Joana jadi menantumu. Terus harus diingat Kanya tidak bisa punya anak!" Suara bude terdengar sangat jelas di telingaku dan kulihat ibu mengangguk-angguk. Kugaruk kepalaku yang tidak gatal ini. Joana malah membantu memijat kepalaku dengan lembut hingga yang tadinya tegang karena stress, lama-lama menjadi nyaman. Ku tutup mataku sebentar, terbayang aku sedang meletakkan kepala di pangkuan Kanya yang manis, dengan senyum yang tak dibuat-buat. Perhatian Kanya tulus, amat tulus. Adakah karakter Joana setelah menikah bisa berubah dari sifat otoriter menjadi makhluk yang manis semanis Kanya? "Yuk, kita pulang...," ajak ibu membuyarkan lamunanku.

#pentigrafSF
Jakarta, 16 Maret 2018

9.
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (9)
* Salah Sangka
Oleh Siu Hong-Irene Tan


Mungkin karena merasakan kebimbanganku, Kanya kembali menjaga jarak. Kanya agaknya ingin memberikan keleluasaan kepadaku untuk mengambil keputusan terbaik. Sedangkan Joana semakin gencar beraksi, setiap sore dia bertandang ke rumah, berbincang dengan ibu dan ayah. Dengan manis membantu pekerjaan ibu sambil menungguku pulang. Dan ibu selalu mengharuskanku mengantarnya pulang. Ibu dan ayah selalu tersenyum melihat keakraban kami. Mereka tak tahu bagaimana rasanya kepedihanku dulu saat Joana meninggalkanku demi seorang Andi, anak orang terkaya waktu masih di kampus.

Sudah beberapa hari ini kumerenung, memikirkannya dengan seksama, dan hatiku sudah mantap memutuskan. Segala konsekwensi yang akan kuhadapi. Sore itu, kuberencana untuk pulang lebih awal, kembali untuk menjemput Kanya. Kubayangkan apa yang akan kuungkapkan nanti kepadanya dapat membuatnya tersenyum bahagia. Rasa rinduku kepadanya terasa begitu dalam, yang belum pernah kurasakan saat bersama Joana. Tak ada gadis sebaik Kanya, dan pilihan sudah kujatuhkan hanya padanya. Aku melirik jam tangan, sudah waktunya berangkat menjemputnya. Dengan semangat segera tancap gas menuju kantornya, tetapi bunyi dering gawaiku menghentikan siulanku. "Nak, segera pulang! Ibu sendiri di rumah, Joana pingsan," terdengar suara panik Ibu

Tanpa berpikir panjang lagi, aku memutar arah sembari menghubungi Kanya, tapi tak ada nada sambung. Aku yakin Kanya sudah gelisah menunggu. Apalagi waktu yang kujanjikan sudah lewat lebih dari 40 menit. Telpon dari ibu berdering kembali. "Iya Bu, masih di jalan," sahutku sambil mempercepat kendaraanku. Ibu sudah menunggu dengan panik. Joana tampak terbaring di sofa depan. Ibu setengah berlari ke ruang dalam mengambil kotak obat. Kuoleskan minyak angin pada tengkuk dan keningnya. Baterai gawai Kanya kebetulan habis dan dia khawatir terjadi sesuatu denganku maka diputuskannya untuk singgah saja ke rumahku. Tetapi tiba-tiba terdengar pekik Kanya di depan pintu yang sangat mengagetkan, mungkin karena melihat posisi tubuhku yang sangat dekat dengan tubuh Joana. Ibu menoleh. Aku terpaku beberapa saat dan hanya mampu melihatnya menutup mulutnya menahan tangis. Kemudian dia berbalik, lari meninggalkan rumah sambil menangis dan aku hanya melihat punggungnya semakin menjauh dengan cepat.

Bogor, 18 Maret 2018

10
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (10)
*Kacau Balau
Oleh Merry Srifatmadewi


Aku benar-benar seperti orang bodoh saat ini. Bingung serba salah. Mau hubungi Kanya, saat ini masih urus Joana yang masih belum siuman. Kubalurkan minyak kayu putih ke kening, hidung, leher, tangan dan kakinya. Perlahan kupijat lembut. Ibu berdiam diri saja tidak tahu harus berbuat apa. Ibu juga tidak berani menghubungi bude dan pakde supaya mereka tidak panik dan hanya memandangiku yang sedang berupaya menyadarkan Joana sambil berdoa. Kucoba lagi memberi napas buatan, perlahan-lahan mata Joana terbuka dan melihatku sedang menciumnya. Cepat-cepat kuhentikan dan ketika hendak kutinggalkan, tangannya meraih tanganku. Kali ini pelan-pelan kulepaskan tangannya. Perasaan bersalahku sangat besar kepada Kanya. Ibu lalu mendekat dan mendampingi Joana setelah memberikannya segelas teh hangat.

Bergegas aku masuk ke dalam kamar tidurku. Kutelpon ke gawai Kanya, tidak diangkat-angkat. Aku kirim pesan, tidak dibalas satupun. Runyam benar-benar runyam. Malam itu juga aku mau berangkat ke rumah Kanya untuk menjelaskan kejadian sebenarnya. "Bu, aku pergi ke rumah Kanya sekarang," kataku sambil mengambil kunci mobil. "Sekarang? Tolong temani kami dulu, bagaimana kalau terjadi kenapa-napa lagi nanti," bujuk ibu. Antara kasihan dan serba salah, kulihat keadaan Joana dan kuyakini dia akan baik-baik saja kuputuskan tetap berangkat ke rumah Kanya.

Pintu rumah Kanya kuketuk, tidak ada yang membukakan. Kutahu bahwa Kanya berada di balik pintu ini. "Kanya, please dengarkan dulu penjelasanku. Ini ada kesalah-pahaman." Tidak ada jawaban sama sekali. Kucoba mengetuk pintu dan berulang-ulang kubicara sendiri berharap Kanya mau bicara. Terserah bila dia mau marah atau teriak padaku. Satu jam sudah aku berdiri di sini. Dingin makin merayapi tubuhku. Dengan lunglai aku menuju mobilku dan pulang tanpa hasil. Kujalani mobilku hingga di tikungan jalan, lampu sorot mobil menerpa sesosok tubuh gadis yang sangat kukenal sedang duduk sendiri di bangku panjang pinggir jalan! Kulihat dia mau menyingkir, segera kuturun dari mobil dan berniat mengejarnya bila dia mau berlari menjauhiku. Aku harus bicara, ya aku harus bicara!


Jakarta, 19 Maret 2018
#pentigrafSF

Tidak ada komentar: