Minggu, 13 Mei 2018

SEMBURAT MERAH JINGGA (21-30)

21
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (21)
*Jumat Agung
Oleh Agust Wahyu

“Le... kowe ra popo?” tanya ibu ketika aku kembali ke rumah lebih awal dari biasanya. Walau aku tak memegang cermin, aku yakin mukaku kusut dan kurang tidur. Semalam pikiranku memang bercabang antara Kanya dan Joana. Mentari belum menampakkan senyumnya. Daun-daun bunga melati di depan rumah masih basah, mungkin karena hujan semalam. Apa ibu lupa kalo hari ini Jumat Agung dan aku akan Jalan Salib jam 8 pagi. Tentunya hari ini aku tak akan bisa ke gereja besama Kanya seperti tahun lalu. Dia lebih dulu memikul salibnya, dan apakah pengorbanannya akan membebaskanku? Tapi dari apa? Apakah membebaskanku dari Kanya atau Joana?

“Bapak-ibu mau bicara hal sangat penting!” kata ibu mencegatku di pintu kamar dan minta aku duduk. Jantungku tiba-tiba berpacu kencang. Apalagi yang ingin ibu katakan. “Apa kamu belum tahu kalo Kanya pernah hamil? Tapi ini rahasia lho dari budemu.” Kepalaku langsung berputar-putar. Perut yang lapar semakin mual. Kakiku lemas. Berita apa lagi ini? Bude Marni yang dulu pernah jadi perawat atau asistennya Dokter Budiman yang pernah merawat Kanya. Ibu mendapat informasi dari bude bila Kanya pernah hamil tetapi calon suaminya tak mau bertanggung jawab. Sehingga dia berusaha menggugurkan kandungannya dengan obat-obatan tradisional. Dan tak berhasil. Lalu dalam keadaan pendarahan hebat, diantar ke Dokter Budiman. Saat itu dokternya belum tiba di tempat praktik, dan yang memberi pertolongan pertama adalah Bude Mirna.

“Itu sebabnya ayah dan ibumu tak mengizinkan. Bagaimanapun Joan lebih baik!” ucapan ibu bagai memvonis. Ayah seperti biasa tak bereaksi banyak tetapi kulihat sepintas wajahnya cenderung mendukung keputusan ibu. Aku tak memberi komentar. Menarik napas panjang beberapa kali dan berusaha tetap tenang. Sejujurnya aku memang tak pernah bertanya lebih jauh tentang kondisi rahim Kanya karena itu sangat sensitif dan dapat melukai perasaan orang yang sangat kucintai. Tetapi apa benar seperti itu? Aku juga tak mungkin akan konfirmasi dengannya dalam kondisi seperti ini. Aku segera pamit pada ayah dan ibu untuk mandi lalu bersiap-siap mengikuti jalan salib di gereja Servatius. Mungkin saatnya aku harus memanggul salib juga, yang kuyakin belum seberat salib yang dipanggul Kanya apalagi Salib Yesus.

Kampung Sawah, 30 Maret 2018
#pentigraf_aw

---

22
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (22)
*Awal Jumpa dengan Kanya
Oleh Agnes Kinasih

"Salib itu kujunjung penuh hingga tiba saat ajalku. Salib itu kurangkul teguh. Klak kan kutrima mahkotaku." Lagu "Di Bukit Golgota" kembali terngiang di telingaku. Pikiranku melayang ke sore itu, ketika hatiku letih. Aku memacu mobilku ke sebuah rumah retreat di Puncak. Aku benar-benar terpuruk karena sikap Joana yang tega menyakiti dan meninggalkanku. Aku ingin menenangkan diriku. Kapel di rumah retreat tempatku biasa berdiam diri, hari itu lain. Terdengar denting piano dan suara merdu seseorang menyanyikan lagu itu. Awalnya kupikir Suster Stefani, tapi suaranya sangat beda. Lembut, merdu, dan penuh penghayatan serta kepasrahan. Kuteruskan langkahku ke dalam kapel. Seorang gadis berwajah sendu dengan rambut panjang tampak sedang memainkan piano.

Pelan-pelan aku melangkah masuk, karena tidak ingin mengganggunya. Hanyut dalam. Lagu yang ia bawakan, hatiku tiba-tiba merasa sesak,air mataku mengalir. "Ya Tuhan... ternyata aku lemah," keluhku dalam hati. Kutundukkan kepala dalam doa. Seiring berhentinya lagu itu, kusudahi doaku. Gadis itu berlutut di depan altar. Nampak ia juga menangis. Tak mau membuatnya terganggu aku keluar perlahan dan menuju ke kantor Suster Stefani untuk menyampaikan bahwa malam itu aku ingin menginap semalam di rumah retreat yang dikelolanya. Setelah diberi kunci kamar, aku segera beristirahat.

Malam hari, setelah makan malam aku keluar ke taman bunga anggrek di halaman belakang. Aku kaget ketika kulihat gadis yang tadi kulihat di kapel ada di situ. Ia pun sepertinya kaget dengan kehadiranku. Dia mengangguk dan tersenyum. Sebelum terlanjur menjauh aku menyapa dan bertanya padanya, "Maaf, mbak tadi yang bermain piano di kapel?" Dia berhenti dan membalikkan badan, sambil tersenyum ia mengangguk. "Suaranya bagus. Kenalkan saya Don," kataku memujinya dan mendapatkan jawaban namanya, Kanya, dari bibirnya yang mungil dan merah. Ternyata ia juga sedang menjadi tamu di situ. Kami pun terlibat dalam obrolan yang asyik. Tak kusia-siakan untuk bertukar kontak dengan orang yang cantik, lembut, dan ramah itu. Dan utamanya ia mampu membuatku lupa akan Joana. "Kanya kekasihku... cepatlah pulih," bisikku dalam hati. Aku rindu tawamu, kata-katamu yang lembut menguatkanku. Dan aku ingin misa malam paskah bersamamu lagi.

---

23
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (23)
*Kejutan di Pagi Paskah
Oleh Waty Sumiati Halim

Bayangan senyuman Kanya telah membangkitkan semangatku saat kubuka mata pagi ini. Terima kasih, Tuhan! Ini hari Minggu Paskah, perayaan sukacita kebangkitan Kristus. Dan aku akan punya lebih banyak waktu untuk Kanya! Setelah hari-hari yang melelahkan, terburu-buru menyelesaikan tugas, supaya bisa segera mengunjungi Kanyaku yang terbaring lemah dan terkurung dalam "dunia"nya. Oh, kapankah ia sadarkan diri? Namun sejujurnya aku juga khawatir hal ini akan menjadi bumerang untukku? Bagaimana kalau sudah sadar Kanya makin menjauh?

Membiarkan diri di bawah pancuran air sungguh menyegarkanku pagi ini. Rasanya aku ingin segera tiba di rumah sakit. Usai sarapan bersama Ibu, kuraih kantung kertas berisi boneka kelinci Paskah dan sekotak coklat, hadiah untuk Kanya. Ia pencinta coklat dan sangat menyukai boneka. Aku ingat benar, bagaimana sinar mata Kanya saat menerima coklat usai misa malam Paskah tahun lalu. Ketika kami baru jadian, "Don, trimakasih ya. Kok tahu aku suka coklat?" Senyum Kanya mengembang menyusul jeritan riangnya ketika ia juga menemukan sebuah boneka beruang kecil dalam kantung hadiahnya.

Kutarik napas dalam dan kubisikkan doa sebelum memasuki ruang perawatan Kanya. Kulihat di meja ada lilin menyala. Seorang berjubah putih sedang berdiri di samping tempat tidur Kanya. Aku berjingkat untuk mendekat agar tak mengganggu. Sebuah kejutan untukku, ternyata lelaki itu adalah Arya, sepupu Kanya yang belum lama ditahbiskan menjadi imam. Kuletakkan kantung hadiahku di meja di samping tempat tidurnya. Seperti biasa, di mataku Kanya tampak sangat cantik walau ia mengenakan pakaian rumah sakit. Tetapi hatiku sangat sedih karena tak banyak perubahan padanya. Jenny, saudara satu-satu yang dimiliki Kanya, mungkin merasakan hal yang sama, dan mengusulkan untuk memberikan Sakramen Perminyakan buat Kanya. Romo Aryo memang sudah siap untuk itu. Setelah itu aku mencium keningnya, dan tiba-tiba sudut bibirnya terangkat. Dan matanya pelan-pelan terbuka dan langsung menatap ke arahku. Ia mengenaliku! Dan bibirnya bergerak menguncup, "Don..." Seketika kurasakan gemuruh di dadaku. Kanya sadar! Terimakasih Tuhan. Ini sebuah mujizat Paskah! Kanya bangkit bersama Yesus. Untuk beberapa saat kata-kataku menghilang begitu saja terbasuh aliran hangat dari sudut mataku... .

Bandung, 30032018

---

24
#pentigraf_serial

SEMBURAT MERAH JINGGA (24)
What's The Matter Don?
Oleh Waty Sumiati Halim

"Don..." Oh Tuhanku, aku tak bermimpi. Tadi Kanya menyebut namaku! Ini momen yang sangat kurindukan. Kanya sadar dan mengenaliku! Walau masih sangat lemah, ia mencoba membalas genggaman tanganku. Pandanganku buram. Namun aku tak ingin melepas tangannya. Aku takut Kanya terhempas ke lembah amnesia yang tak bertepi seperti Joana. Dan harus kuakui ternyata cintaku padanya lebih dari yang kukira. Kutatap matanya lekat. Menyiratkan sorot penuh kasih. Namun tak lama kemudian kemudian kelopak mata Kanya menutup kembali. "Don, biarkan Kanya istirahat...," suara Romo Aryo membuyarkan lamunanku. Aku jadi ingat dokter Irwan pernah berpesan Kanya perlu banyak istirahat.

Hidup terasa sangat indah ketika kusadari ternyata hatiku hanya terpaut pada Kanya. Walaupun ternyata ia mempunyai masalah dengan rahim, mahkota seorang wanita. Luka hatiku akibat ulah Joana terpulihkan. Namun rangkaian peristiwa yang melandaku dan Kanya akhir-akhir ini telah mencabik-cabik hatiku. Dan tentunya menghancurkan hati Kanya yang selama ini kukenal sangat lembut. Sadarnya Kanya seolah menghadapkanku pada pisau bermata dua. Apakah ia mau menerimaku kembali? Kalau ia mau mnerimaku kembali, apakah keluargaku akan menerima Kanya yang konon tak mungkin mempunyai keturunan?

Dalam kegalauan hati kucoba berkonsultasi dengan Romo Aryo tentang permasalahan melingkupiku. "Wow! Cinta segitiga... ow segi empat ya..." Romo muda itu mencoba mencandaiku. Namun beberapa detik kemudian ia memandangku lalu melanjutkan ucapannya dengan wajah serius. "Ikuti kata hatimu!" Dan aku makin galau. Tentu saja hatiku memilih Kanya, walau aku pernah mencintai Joana. Namun aku juga tak ingin menjadi anak durhaka. Bagai seorang yang harus mengunyah dan menelan buah simalakama. Aku takut mencelakai Ibu. Mengingat Ibu bermasalah dengan jantungnya. Bayangan Kanya, Joana dan ibu silih berganti menari-nari di benakku. Oh Tuhan, tolonglah aku! Dadaku terasa sesak. "Don?" Suara Romo Aryo dan tepukannya di bahuku memaksaku untuk menoleh ke arahnya. Aku tak dapat menebak isi hati Romo muda itu ketika ia melihat sungai deras mengalir dari kedua sudut mataku.

#Bandung, 01042018

---

25
#pentigraf_serial

SEMBURAT MERAH JINGGA (25)
*Mimpi
Oleh Merry Sri Fatmadewi

Terbayang hari-hari menggembirakan melihat kemajuan yang dicapai Kanya hari ini. Benarkah demikian? Ada pasien yang terlihat jauh membaik dari hari sebelumnya ternyata pasien itu berpulang selamanya. Membayangkan itu membuat Don takut sendiri dan tidak berani mengutarakan ketakutan tersebut pada siapapun. Don bertelut dalam doa memohon pengasihanan Tuhan untuk Kanya. Apa yang dikuatirkan tidak terjadi. Selang oksigen sudah dilepaskan, sedikit demi sedikit Kanya mulai bisa menyedot minuman. Tubuhnya masih lemah tapi sudah bisa mengenali orang-orang yang dikenalnya.

Hampir tiba di rumah, Don melihat mobil Bude Marni. Don tidak jadi pulang dan memilih pergi menenangkan diri di cafe. Rasa lelah tubuh Don tambah lelah, setelah dua jam di cafe membuatnya ingin segera pulang. Mandi air hangat dan pergi beristirahat secepatnya. Masih terparkir mobil Bude Mirna. Don tidak mau menghindar lagi, hanya satu di pikirannya mau istirahat.

"Don, mengapa jarang menengok Joana? Tolong tengok dan bisikan kata-kata penyemangat untuk dirinya. Pasti Joana cepat sembuh terutama bila dari diri kamu yang memberi semangat!" pinta Bude Mirna sambil memegang tangan Don. Karena sudah lelah dan mau beristirahat, Don menganggukkan kepala dan permisi masuk ke dalam kamar tidurnya. Karena super lelah, Don tertidur lelap dan bermimpi Don menikah dengan Joana dan mereka mempunyai sepasang anak yang menggemaskan. Inikah pertanda bahwa Don akan menikahi Joana?

Bandung, 1 April 2018
#pentigrafserialSF

---

26
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (26)
* Kegalauan Pakde Marto
Oleh 
Siu Hong-Irene Tan

Pakde Marto sedang duduk di teras dengan gelisah. Sepertinya perasaannya sedang galau. Matanya menerawang memandang langit malam. Berkali-kali terdengar desah napas panjang dari hidungnya. Bude Mirna menghampirinya dengan membawa nampan. Aroma teh camomile menyeruak dari poci yang dituangkan."Pak, minum dulu tehnya selagi masih hangat. Jangan kau curahkan semua pikiranmu pada persoalan Joana. Jaga kesehatanmu," terdengar nasihatnya.

Hela napas Pakde terdengar seperti sedang memikul beban. Diangkatnya cangkir teh mendekati mulut, kemudian ditiupnya perlahan-lahan. Tampak asap bulat mengepul di udara dan menghilang tertiup angin malam. Pakde Marto menyeruput teh yang sudah agak dingin hingga tetes terakhir. Diletakkannya cangkir yang sudah kosong di atas meja. Wajah Maria, adiknya kembali hadir seperti mimpinya beberapa hari yang lalu. Dia seakan-akan diingatkan janjinya dulu sebelaum Maria berpulang. Maria telah mewanti-wanti agar dirinya menjaga Joana baik-baik. Sejak ayah Joana menghilang tanpa kabar berita, adiknya itu hidup dalam penderitaan batin. Setiap saat menanti kepulangan suaminya. Kondisinya makin lama bertambah tak menentu, seringkali tiba-tiba seperti orang hilang ingatan. Hingga akhirnya Pakde Marto dan Bude Mirna memboyong Maria dan Joana pulang ke rumah. Joana sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Apalagi perkawinan Pakde Marto dengan Bude Mirna tak dikarunia keturunan. Janjinya menjaga Joana disanggupinya, tetiba terasa menjadi beban yang sangat berat.

Bude Mirna membalik-balik halaman majalah di pangkuannya. Pikirannya tidak fokus. Perkataan suaminya semalam terus terngiang-ngiang di telinganya,"Bu, rencana kita menjodohkan Joana dengan Don harus berhasil. Selain keponakan kita itu baik, dia juga pewaris tunggal keluarga kita. Dengan begitu aku bisa memenuhi janjiku pada almarhum Maria." Bude Mirna mengkhawatirkan kondisi kesehatan suaminya dan dirinya sendiri yang punya penyakit jantung. Belakangan ini wajah suaminya tampak semakin pucat. Tekad Bude Mirna sudah bulat, mencari cara agar Joana bisa menikah dengan Don.

Bogor, 31 Maret 2018

---

27
#pentigraf_serial

SEMBURAT MERAH JINGGA (27)
*Ajaib Kasihmu
Oleh Budi Hantara

Senyum Kanya menjadi berkah terindah yang sudah lama kunantikan. Setelah sekian lama tak sadarkan diri, pagi ini Kanya membuka mata dan bibir mungilnya mengucapkan kalimat yang membuat hatiku berbunga-bunga. "Terima kasih Don, kamu tidak meninggalkanku." Tatapan matanya memancarkan cinta yang tulus. Kugenggam tangannya dan kutempelkan di dadaku supaya Kanya merasakan detak jantungku yang penuh cinta. "Cinta kita tak akan terpisahkan Sayang."

Jenny diam terpaku menahan keharuan rasa. Sementara aku masih menggenggam erat tangan lembut Kanya. Walaupun wajahnya masih pucat, sinar matanya tampak berbinar. Semangat Kanya benar-benar telah bangkit. Beberapa hari lagi Kanya pasti sudah sehat dan bisa segera pulang. Setelah sehat aku ingin mengajaknya jalan-jalan dan memberikan kejutan istimewa. Anganku mengembara jauh melintasi batas logika. Tiba-tiba suara ibu yang datang bersama Bude Mirna menghentikan anganku. "Puji Tuhan. Sungguh besar kasih Tuhan." Tanpa ada yang memberi komando kami melambungkan doa penuh syukur bersama-sama.

Paskah tahun ini sungguh penuh berkah. Kebangkitan Tuhan telah melembutkan semua hati yang keras membatu. Bude Mirna yang biasanya egois dan suka memaksakan kehendak, kini berubah ramah. Aku hampir tak percaya ketika Bude Mirna mengatakan kepadaku bahwa tak akan memaksakan pertunanganku dengan Joana. "Bude minta maaf Don. Setelah mengalami berbagai persoalan, akhirnya Bude merenung dan menyadari bahwa rencana Tuhan yang lebih indah. Kamu berhak menentukan pilihanmu sendiri. Mungkin Kanya memang jodohmu. Tapi bisa jadi Joana. Bude tak akan memaksamu lagi tapi pertimbangkanlah lagi apa kau tak ingin keturunan."

---

28
#pentigraf_serial

SEMBURAT MERAH JINGGA (28)
*Bola-bola panas
Oleh Ypb Wiratmoko

Yang patut disesalkan di dunia ini adalah masih banyak orang yang tidak menyadari bahwa ada dua berita besar di dunia ini, yaitu semua orang telah jatuh ke dalam dosa, dan yang kedua dosa-dosa tersebut dapat diampuni oleh Tuhan asalkan mau bertobat dan berjanji tidak akan mengulangi dosa lagi. Mengapa pula kebiasaan-kebiasaan baik jauh lebih mudah ditinggalkan daripada kebiasaan-kebiasaan buruk?

Demi rasa cintanya kepada Joana, Bude Mirna sengaja melemparkan bola panas pada persoalan hubungan antara Joana denganku. Ia dengan cerdiknya mampu menghembuskan isu bahwa Kanya pernah hamil dan menggugurkan kandungannya. Dengan cara seperti itu, aku akan berpikir seribu kali perihal hubunganku dengan Kanya, gadis yang sangat kucintai. Ia pun menyusun strategi baru seolah-olah memberi kemerdekaan kepadaku untuk menentukan pilihan.

Sejak awal perjumpaanku dengan Kanya, aku selalu mendengarkan suara hati. Aku percaya setiap persoalan pasti ada jalan keluar dan dihadapi dengan bijak. Aku berusaha mengendalikan perasaan dalam menghadapi persoalan yang pelik ini. Aku berusaha sekuat tenaga untuk bersikap jernih. Aku tidak mau melukai perasaan siapa pun. Pakde Marto, Bude Mirna dan orangtuaku adalah orangtua yang harus dan wajib dihormati. Juga Joana dan Kanya, dua gadis yang pernah dan masih mengisi hatiku. Aku harus menentukan langkah terbaik. Semoga data-data yang kumiliki sudah cukup kugunakan untuk menentukan langkah selanjutnya. Tiba-tiba ibu menangis setelah dapat telpon dari Bude Mirna. Aku menanti dengan hati tak enak dan jantung berdebar-debar. kabar apa yang didapat dari Bude Mirna?

(Wisna Ayem, Ngawi, 4 April 2018)

---

29
#pentigraf_serial

SEMBURAT MERAH JINGGA (29)
*Pukulan Berat buat Don
Oleh Albertha Tirta

Perkembangan kesehatan Kanya mengaduk-aduk hati Pakde Marto. Ia semakin khawatir. Hal ini akan semakin menjadi ancaman nyata bagi Joana untuk berdampingan dengan Don. Ia harus berpacu dengan waktu untuk segera menjodohkan. Perasaan campur aduk ini menyedot banyak energi. Beberapa hari kemudian Pakde Marto tumbang jatuh sakit demam tinggi. Staminanya turun drastis karena mengalami insomnia. Dari dokter memperoleh obat untuk membantu bisa tidur.

Hari pertama meminum obat bisa membantu Pakde Marto memicingkan matanya. Tetapi di hari kedua sudah tidak mempan lagi. Matanya tetap melotot nanar. Seperti kebiasaannya sehari-hari, untuk membunuh waktu dengan duduk diteras. Samar dalam bayangan terlihat mobil memasuki halaman rumahnya. Pakde Marto cukup terhenyak melihat para penumpang turun. Terlihat Don merangkul Kanya dengan mesra sambil salah satu tangannya menggandeng Joana. Tatapan Joana kosong tanpa ekspresi. Hati Pakde berontak, iapun berteriak "Tidaaaak!"

Tergopoh-gopoh Bude Mirna datang, menggoyang-goyangkan badan Pakde. Tapi suaminya tak bangun-bangun. Dan hal yang bisa dilakukan adalah menangis dan menelpon adiknya, yaitu ibu. Kejadian ini mau tak mau menjadi pukulan berat bagiku, apalagi Bude Mirna menudingku sebagai awal mula penyebab semua ini. Saat kupandangi Pakde Marto yang sudah tidur abadi, seakan-akan dia berbisik padaku, "Apakah kau masih belum puas menyiksa pakde dan budemu?"

---

30
#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (30)
MIMPI INDAH KANYA
Yosep Yuniarto

Pagi itu sengaja aku tak pulang ke rumah. Aku butuh waktu yang tepat untuk mengabarkan kepergian Pakde Marto kepada Kanya. Senyum manisnya langsung terkembang dan kulihat wajahnya sudah mulai cerah. “Saya mandi dulu ya,” Jenny permisi meninggalkan kami. Kemudian Kanya bercerita kalau semalam dia bermimpi ada yang mengetuk pintu rumahnya. Ketika dia membuka pintu nampaklah seorang pria berbadan tegap yang nampak gagah dengan topi hitam dan topeng ala Zorro, berdiri di hadapannya. Pria itu membawa seikat bunga cantik di tangannya. Pria itu kemudian sembari setengah berlutut memberikan bunga itu kepada Kanya dengan perlahan penuh kelembutan. Bulan purnama menjadi saksi ketika pria itu berkata, "Kulihat rembulan di wajahmu. Bersinar lembut, menerangi hatiku. Menghangatkan seluruh jiwaku yang dingin membeku karena persimpangan waktu. Maukah engkau menjadi permaisuriku?" Kanya betul-betul merasa menjadi wanita paling bahagia dan beruntung di seluruh dunia. Sayang semua itu hanya mimpi.

Kanya kemudian menatapku dengan pandangan yang serasa amat tajam menguliti isi hatiku. "Aku tak butuh pangeran berkuda menjemputku. Cukup ada satu satu lelaki yang bertanggung jawab atas hidupku dan menerimaku apa adanya,” kata Kanya kemudian membuat hatiku perih. Apakah aku dianggapnya kurang bertanggung jawab selama ini? Dia kemudian mengatakan bahwa yang diinginkan adalah lelaki yang dapat menunjukkan kelelakiannya dengan cara bijak, tulus dan penuh cinta. Untuk lelaki yang demikian, itulah yang dianggapnya lelaki yang sempurna, dia akan lupa pada penampilan dan kekurangannya. Kata-kata Kanya itu bagai badai salju yang langsung membekukanku tanpa ampun! Aku jadi merasa amat bersalah karena selama ini kurang gigih memperjuangkan cintaku kepadanya. Namun dengan berbagai masalah yang terus menerpa, yang tidak merestui hubunganku dengannya, malah membuatku kuat dan tahu siapa yang harus kupilih.

Aku mengecup lembut kening Kanya. Dalam hati aku berjanji ingin menjadi  sosok sang pangeran dalam mimpi indahnya. Sosok yang 'gentle' namun lembut dan romantis. “Don, kamu nggak ke kantor,” Jenny telah berdiri di belakangku mengingatkanku. Dan kesempatan ini kugunakan sekaligus untuk mengabarkan kepergian Pakde Marto. Aku akan kembali ke rumah sakit setelah itu. “Salam buat Joana ya,” kata Kanya tanpa ekspresi tapi justru aku mendengarnya bagi pukulan telak di ulu hatiku.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        

Tegal, 4 Maret 2018    

Tidak ada komentar: