#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (76)
*Kembali Bimbang
Oleh Agust Wahyu
"Ke psikolog?" Kanya mengernyitkan keningnya, "untuk apa? Apa tidak ke psikiater sekalian?!" Suara Kanya meninggi. Aku jadi kikuk sendiri. Dengan susah payah kujelaskan maksudku, untuk menghindari kemungkinan trauma setelah apa yang dialaminya. Kanya meletakkan sendok dan garpunya, sepertinya aku telah membasmi selera makannya. Kanya bertanya kenapa tiba-tiba aku punya ide seperti itu. Karena gugup, entah apa yang kukatakan sampai akhirnya Kanya tahu kalau ide itu berasal dari bapak. Ternyata itu membuatnya sangat tersinggung. Seperti yang sempat kutakutkan, dia merasa orang tuaku menganggapnya punya kelainan jiwa. Aku sungguh tidak ingin berdebat di sini, karena kalau sudah marah, Kanya suka lupa keadaan sekeliling. Karena sudah sama-sama tidak bisa makan lagi, aku segera membayar dan kuajak Kanya kembali ke mobil.
Aku berusaha minta maaf dan bilang itu hanya sebuah usul dan dia tidak harus melakukannya. Sekarang dia diam seribu bahasa.Sepanjang jalan pulang aku berusaha menenangkannya. Aku tak mengerti, kenapa ide begitu saja bisa membuatnya semarah itu? Di mana Kanya yang manis, lemah lembut dan penuh pengertian? Aku jarang melihat Kanya marah. Tapi akhir-akhir ini sepertinya dia jadi sensitif. Mungkin karena dia juga lelah dengan semua yang terjadi. Siapa yang tidak lelah pacaran penuh lika-liku begini? Mobil sudah terparkir di depan rumah Kanya. Dia masih juga mengunci bibirnya. Kuraih tangannya, tapi dia menariknya kembali. Aku jadi kesal. Kukatakan kalau ide itu juga demi kebaikannya. Kalau dia merasa tidak perlu ya sudah, kenapa harus marah begitu?
"Kenapa kau masih juga tidak percaya padaku Mas?" seru Kanya kesal, "setiap kali bapak, ibu atau bude mengatakan hal-hal buruk tentangku, kau selalu ragu dan bingung. Kenapa kau tidak pernah punya pendirian sendiri?" Aku menyahut kalau aku punya pendirian sendiri, aku ingin menikahinya. Kanya menjawab kalau diapun punya pilihan untuk menikahiku. Saat itulah kata-kata yang tidak seharusnya kukatakan tercetus tanpa sempat kutahan, kutanya apakah dia mau memilih Jo daripada aku. Mata Kanya membelalak. "Sepertinya kau yang perlu ke psikolog Mas, dan kalau kau terus berpikir seperti itu, mungkin lebih baik kalau kita tidak usah menikah," katanya, lalu langsung turun dan membanting pintu mobilku.
Kampung Sawah 24 Mei 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar