Minggu, 27 Mei 2018

SEMBURAT MERAH JINGGA (79)

#pentigraf_serial
SEMBURAT MERAH JINGGA (79)
*Keikhlasan Kanya
Oleh Jenny Seputro Seputro

Serasa baru kemarin aku meninggalkan lorong-lorong ini. Tempat ini sudah serasa rumah keduaku saat Kanya terbaring koma beberapa bulan yang lalu. Sekarang lagi-lagi aku duduk di samping ranjang, menatap Kanya yang terbaring lemah dengan selang infus di tangannya. Dokter khawatir Kanya terkena demam berdarah, tapi kami sudah mengambil langkah yang tepat dengan membawanya ke rumah sakit. Tak lama kemudian Kanya terbangun. Dia tersenyum saat melihatku. Langsung kupeluk dia, dan kucium keningnya yang panas. Segala amarah di antara kami menguap entah ke mana. Kami sama-sama minta maaf, sadar kalau ikatan hati ini jauh lebih kuat dan berharga daripada sekedar ego, kecemburuan dan harga diri. Jenny juga terlihat lega, dia pamit untuk makan di kantin, sepertinya sejak pagi dia belum makan.

Kami mengobrol tentang banyak hal. Sampai akhirnya aku cerita tentang Joana. Tentang ibu yang memintaku menemui Joana untuk membantunya mengingat masa lalu, dan mudah-mudahan bisa mengembalikan memorinya yang hilang. "Pergilah Mas, kau harus membantunya. Cuma kau yang bisa, karena memorinya yang paling kuat adalah denganmu." Aku tertawa, kutanyakan bagaimana dia tahu itu. Kanya balas tertawa, dia bilang karena itulah yang terjadi dengan dirinya. Aku tersenyum penuh haru, ada ketulusan di dalam matanya. Kukatakan kalau aku akan menemui Joana nanti kalau Kanya sudah sembuh, dan kami bisa menemuinya bersama-sama. Tapi Kanya menggeleng. Dia bilang itu tidak perlu, karena dia sepenuhnya percaya padaku. Lagipula Joana akan merasa tidak nyaman dengan kehadiran Kanya di tengah-tengah mereka. Bagaimana Kanya bisa bersikap begitu ikhlas, sedangkan saat dia mengunjungi Jo, aku hampir meledak dibakar cemburu?

Kanya cerita kalau ada kemungkinan Jo mendapatkan pengurangan hukuman karena berkelakuan baik selama dalam tahanan. Aku merutuki pikiranku yang berharap kalau itu tidak terjadi. Setelah itu kuminta Kanya untuk istirahat. Kutatap wajahnya yang pucat namun terlihat damai, sambil kugenggam tangannya. Aku tidak mungkin mengajaknya ke psikolog, tapi ketakutan dalam hatiku masih ada. Tiba-tiba aku teringat Edward. Aku baru ingat jika sahabatku ini juga suka membaca banyak buku tentang psikologi. Siapa tahu dia bisa memberi saran, pandangan dan pendapatnya. Dan Kanya tidak perlu tahu tentang hal ini.
Perth, 27 Mei 2018


Tidak ada komentar: